Pawai massal yang berlangsung di setidaknya 22 kota pada 2 Februari lalu diduga melibatkan kelompok eks HTI, organisasi yang telah dibubarkan pemerintah. Masyarakat mendesak agar pemerintah mengambil langkah tegas terhadap kelompok yang dianggap melakukan makar terhadap ideologi Pancasila.
“Sebelum aksi pawai ini, sudah ada beberapa kegiatan serupa tanpa respons berarti. Aksi ini berkembang pesat akhir pekan lalu dan mungkin akan semakin besar ke depannya. Meski tidak melakukan aksi teror, kelompok HTI bertujuan mengubah ideologi negara, berbeda dari aksi teror yang berdampak langsung pada keamanan,” ujar Muhammad Syauqillah, Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia, dalam diskusi di Jakarta, Rabu (5/2/2025).
HTI resmi dibubarkan oleh pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM pada Juli 2017 berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pembubaran ini dilakukan karena ideologi HTI dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Syauqillah menegaskan, penyebaran ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 188 hingga Pasal 190 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Lebih lanjut, pemerintah dan aparat keamanan diminta mempertimbangkan bahaya ideologi khilafah Islamiyah yang dianut HTI. “Banyak pelaku terorisme di Indonesia menganut ideologi ini. Mereka sering memanfaatkan isu terkini untuk menyuarakan kampanye pendirian negara khilafah,” tambahnya.

Muhammad Najih Arromadloni, Pengurus Badan Pengembangan Jaringan Internasional PBNU, menilai pawai tersebut bukan yang pertama kali terjadi di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Isu-isu seperti genosida oleh Israel sering mereka gunakan untuk menarik simpati masyarakat.
Meski telah dilarang di banyak negara Muslim, HTI tetap aktif menyebarkan ideologinya di Indonesia. Bahkan, sejumlah pelaku teror seperti Bahrun Naim diketahui merupakan anggota HTI. Najih menyebut pembubaran HTI pada 2017 hanya bersifat formal dengan mencabut badan hukum organisasi tersebut. Namun, simbol dan tokoh-tokoh HTI tetap beroperasi dengan nama-nama baru yang jauh dari istilah Arab.
Najih juga mengungkapkan bahwa HTI tidak sepenuhnya menghindari kekerasan. “Di laman resmi mereka, ada ajakan kepada TNI untuk melakukan kudeta. Meski hanya sebatas ajakan, hal ini tetap tergolong tindakan kekerasan,” tuturnya. Ia meminta pemerintah segera bertindak tegas sebelum situasi semakin tidak terkendali.
Rida Hesti Ratna Sari, peneliti aliran keagamaan dari Majelis Ulama Indonesia sekaligus mantan pengurus HTI, menyatakan bahwa HTI sebenarnya merupakan partai politik, bukan organisasi keagamaan. Mereka menganggap Pancasila hanya ideologi semu.
Setelah pembubaran pada 2017, Rida menyebut gerakan HTI terus berlangsung secara masif dengan menyasar masyarakat, terutama kalangan perempuan. “Mereka menyatu dengan nilai-nilai masyarakat agar semakin sulit dibedakan. Jika pemerintah lamban mengambil tindakan, upaya represif di kemudian hari dapat memicu konflik antara pemerintah dan masyarakat,” ungkapnya.
Senada dengan Rida, Ayik Heriansyah, Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat sekaligus mantan pengurus HTI, menilai HTI memiliki kemampuan gerakan sistematis. “Mereka bukan hanya melakukan aksi demonstrasi, tetapi juga mampu menjalankan strategi ‘dua kaki’, yaitu gerakan sipil dan militer. Di beberapa negara, mereka bahkan mencoba melakukan kudeta meskipun gagal,” paparnya.
Setelah dibubarkan, Ayik mengatakan eks HTI tetap aktif melalui kegiatan seperti halaqoh mingguan dan bulanan. “Tujuan utama mereka adalah mendirikan negara berbasis ideologi khilafah. Jika itu terjadi, Pancasila dan UUD 1945 akan lenyap, dan Indonesia hanya tinggal sejarah,” tutupnya.