Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Kaprodi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Merdeka (Unmer) Malang, Dr. Supriyadi, serta Praktisi Hukum Firdaus dan aktivis Syarif Hidayatullah.
Beberapa ketentuan dalam RUU KUHAP dinilai masih belum jelas dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara kejaksaan dan kepolisian. Oleh karena itu, mahasiswa menekankan perlunya evaluasi sebelum rancangan undang-undang tersebut disahkan.
“Salah satu contoh dalam Pasal 28, di mana kewenangan penyidikan diberikan kepada kejaksaan. Padahal, tugas ini merupakan ranah kepolisian. Selain itu, kejaksaan juga memiliki wewenang untuk menghentikan penyidikan. Ini menjadi masalah karena dua instansi diberikan kewenangan yang sama, yang justru bisa menimbulkan kebingungan dalam praktiknya,” ujar Firdaus.
Menurutnya, RUU KUHAP dalam bentuknya saat ini masih jauh dari sempurna. Jika tidak diperbaiki, ada risiko tanggung jawab dalam penegakan hukum menjadi tidak jelas.
“Bayangkan jika sebuah kasus ditangani oleh polisi, lalu dihentikan oleh kejaksaan. Lantas, siapa yang bertanggung jawab dalam proses hukum tersebut?” imbuhnya.
Selain itu, Pasal 12 ayat 11 dalam RUU KUHAP menyebutkan bahwa jika dalam 14 hari laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian, maka masyarakat dapat langsung mengajukan laporan ke kejaksaan. Hal ini dinilai semakin memperjelas potensi tumpang tindih kewenangan antara kedua lembaga penegak hukum tersebut.
Firdaus menambahkan bahwa apabila RUU KUHAP tetap disahkan, perlu adanya pembentukan komisi pengawasan khusus yang mengawasi kinerja kepolisian dan kejaksaan.
“Perbaikan yang dibutuhkan bukan dalam hal perluasan kewenangan institusi, melainkan dengan memasukkan komisi pengawasan kepolisian dan kejaksaan dalam aturan hukum tersebut,” tegasnya.